Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan daerah. Dia menyebut adanya norma yang dilampaui oleh MK. Awalnya, Rifqi menjelaskan bahwa MK dibentuk sebagai negative legislature, yang artinya posisinya hanya memberikan pandangan terhadap satu norma Undang-Undang apakah konstitusional atau inkonstitusional terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Menurutnya, jika norma Undang-Undang dianggap inkonstitusional, maka akan diserahkan kepada Presiden atau pemerintah dan DPR untuk disempurnakan.
Namun, Rifqi merasa bahwa sekarang MK memposisikan dirinya sebagai positive legislature, yang tidak hanya mengatakan bahwa suatu hal inkonstitusional, tetapi juga membuat norma baru sendiri. Menurutnya, hal ini bisa berdampak negatif terhadap proses demokrasi konstitusional dan negara hukum di Indonesia. Rifqi juga mengkhawatirkan bahwa jika pihaknya merevisi Undang-Undang Pemilu tetapi kemudian ada judicial review (uji materiil) dan terbit norma baru, maka hal itu akan mengganggu keseimbangan lembaga negara dan keharmonisan mereka.
Rifqi menegaskan perlunya DPR dan Pemerintah melakukan pencermatan yang sangat serius terhadap putusan MK terbaru ini. Meskipun demikian, Rifqi melihat bahwa hal ini bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak untuk melihat lebih jauh proses pembentukan hukum nasional Indonesia ke depannya. Putusan MK menyatakan bahwa Pemilu Presiden, pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota mulai 2029 mendatang. MK juga memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.