Hasil survei terbaru Charta Politika menyebut pencalonan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden Joko Widodo dan keponakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, malah membebani elektabilitas capres Prabowo Subianto, menurut pengamat politik pada Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi.
Menurut Airlangga, penurunan elektabilitas Prabowo-Gibran merupakan konsekuensi dari makin tingginya kesadaran publik bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan dalam meloloskan nama Gibran seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin sendiri oleh adik ipar Presiden Jokowi alias paman dari Gibran. Apalagi, di media sosial juga marak sebutan “Mahkamah Keluarga” sebagai sindiran atas putusan kontroversial MK yang harus mengubah Undang-Undang untuk meloloskan Gibran.
Persepsi tentang adanya intervensi kekuasaan di MK, menurutnya, membuat pandangan publik bergeser, terutama bagi para pendukung Presiden Jokowi, dan tidak serta merta memperkuat kandidasi Gibran. “Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan,” ujar doktor alumnus Murdoch University, Australia, tersebut.
Pada Senin, 6 November, Charta Politika merilis hasil survei terbarunya. Dalam simulasi tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat elektabilitas tertinggi yakni 36,8 persen, disusul Prabowo Subianto-Gibran (34,7 persen), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3 persen). Jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3 persen.
Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies Nyarwi Ahmad mengingatkan hasil survei yang menyebutkan bahwa mayoritas publik menganggap Jokowi ikut terlibat dalam putusan MK. Apabila skandal di MK diibaratkan ‘drama’, publik percaya bahwa presiden juga punya peran dalam drama tersebut.
“Orang ada yang kemudian berpikiran kritis: kalau presiden melihat politik kita sebagai drama, publik bisa melihat keberadaan presiden ada dalam drama itu, bahkan menjadi bagian penting. Atau bahkan beberapa pihak mensinyalir, salah satu sutradara di balik drama itu, wajar saja, karena presiden tidak pernah menyampaikan ekspresinya secara eksplisit,” kata Nyarwi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menyebut penilaian publik atas adanya cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK bisa dipahami. Hal itu dikarenakan relasi kekeluargaan dan relasi kekuasaan sangat kental dalam putusan 90/PUU-XXI/2023.
“Karena relasi kekeluargaan sangat lekat dengan relasi kuasa dalam konteks hubungan Jokowi dengan Ketua MK. Ini hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Penilaian publik seperti itu,” ujarnya.
Herry juga mengungkap indeks demokrasi era Jokowi menjadi yang terburuk sejak 14 tahun terakhir.
“Jelas akan mengalami penurunan, terutama era Jokowi, Indeks Demokrasi Indonesia dari lembaga asing adalah yang terburuk dari 14 tahun terakhir. Bahkan tidak mengalami perubahan signifikan,” katanya.
Menurutnya, ada aspek-aspek tertentu yang harus menjadi bahan evaluasi, misalnya budaya politik. “Yang terjadi adalah per hari ini budaya politik itu tidak muncul karena intervensi kekuasaan, sehingga publik enggan untuk mengatakan politik Indonesia baik-baik saja,” ujarnya.
Herry juga mengungkapkan indeks demokrasi Indonesia yang termasuk rendah, apalagi ketika muncul putusan MK. Hal itu dinilai akan makin memburuk kehidupan demokrasi.