Saat berada di dalam rumah atau hotel, seringkali kita merasa nyaman dan familiar dengan lingkungan sekitar. Namun, terkadang ada momen ketika kita merasakan sensasi angker dan tidak bersahabat ketika berada di tempat tersebut. Ilmuwan telah menyimpulkan bahwa sensasi tersebut sebenarnya bukanlah takhayul, melainkan cara otak kita menafsirkan lingkungan yang keliru.
Dinding, sudut, dan penanda visual adalah hal-hal yang biasa menjadi orientasi bagi otak kita ketika berada di suatu tempat. Saat berpindah ke lingkungan baru, perubahan udara dan cahaya yang dirasakan oleh tubuh dapat membuat otak “menahan napas”. Otak kemudian mulai membentuk peta internal dari ruang tersebut, yang didasarkan pada memori dan pengalaman individu.
Saat mengenali suatu bangunan, otak kita secara otomatis mengaktifkan ekspektasi terkait dengan fungsi dari bangunan tersebut. Misalnya, saat melihat restoran, otak langsung membayangkan di mana tempat memesan makanan atau tempat duduk. Bangunan tua dengan tanda-tanda kerusakan seperti aroma lembap, debu, dan kayu lapuk juga dapat mengaktifkan naluri kewaspadaan dalam otak kita.
Perubahan dalam kompleksitas ruang, bentuk, dan pencahayaan juga dapat memengaruhi tingkat kewaspadaan tubuh. Arsitek sering menggunakan prinsip ini untuk menciptakan pengalaman yang membingungkan atau misterius dalam desain bangunan mereka. Penelitian tentang hubungan antara bentuk arsitektur dan emosi menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat memicu reaksi otak yang berhubungan dengan kewaspadaan dan ketidaknyamanan.
Dengan demikian, rasa angker atau tidak bersahabat yang kita rasakan saat berada di suatu tempat sebenarnya merupakan respons alami dari otak kita terhadap lingkungan sekitar. Berbagai elemen arsitektur dan pengalaman individu dapat memengaruhi persepsi kita terhadap suatu tempat, dan menghasilkan sensasi yang berbeda-beda bagi setiap individu.
