Alasan Mengapa Prabowo-Gibran Diperkirakan Akan Membutuhkan Koalisi Semi Permanen

by -447 Views

Selasa, 26 Maret 2024 – 00:12 WIB

Jakarta – Pengamat politik sekaligus peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar merespon hasil survei dari LSI Denny JA yang menyatakan mayoritas masyarakat sebesar 75,8 persen mendukung agar koalisi pemerintahan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki koalisi semi permanen minimal selama 20 tahun yakni 2024-2045.

Menurut Usep koalisi semi permanen dibutuhkan untuk melanjutkan kebijakan strategis pemerintah dalam rangka mendorong dan mewujudkan cetak biru Indonesia menjadi negara maju atau menyongsong Indonesia Emas 2045.

“Survei itu kan persepsi masyarakat yang saya kira juga didasarkan mungkin pada pemikiran bahwa koalisi semi permanen itu untuk kontinuitas program atau kontinuitas menjalankan hal yang sifat strategis atau untuk hal-hal manajemen strategis sampai 2024, sehingga tidak bongkar pasang,” ujar Usep, Senin 25 Maret 2024.

Usep menyampaikan kebiasaan pemerintah ketika ganti pucuk pimpinan pemerintah maka akan ganti pula kebijakan yang diambil sehingga pembangunan tidak berjalan secara berkelanjutan.

Usep mencontohkan program pemindahan ibu kota IKN itu tidak bisa dikerjakan dalam satu periode yang hanya 5 tahun tetapi harus juga konsisten dikerjakan. Meskipun IKN sudah menjadi amanat undang-undang, tetapi tetap saja IKN akan berpotensi terhenti jika pemerintah penggantinya tidak memprioritaskan bisa beralasan keterbatasan anggaran sehingga lebih mengutamakan kebijakan lain.

“Lanjut Usep menyampaikan koalisi semi permanen pemerintahan Prabowo-Gibran juga dipercaya akan lebih gemuk dari pada yang oposisi.” Usep bercermin dari pilpres sebelumnya baik PKB, PPP, Nasdem yang saat ini masih di luar Koalisi Indonesia Maju (KIM) diperkirakan akan merapat ke pemerintah kecuali kemungkinan besar PDIP dan PKS yang tetap berada di luar pemerintah.

“Karena hanya ada beberapa yang punya tradisi agak kuat menahan lapar di luar pemerintahan yang sudah terbukti kayak PDI Perjuangan itu pernah 10 tahun zaman SBY dia bertahan di luar dan mendapatkan simpati yang bagus di masyarakat, lalu PKS juga di masa pemerintahan Jokowi selain itu saya kira tidak tahan godaan-godaan kekuasaan,” ujarnya.

“PDI Perjuangan itu pernah 10 tahun zaman SBY dia bertahan di luar dan mendapat simpati yang bagus di masyarakat, lalu PKS juga di masa pemerintahan Jokowi. Selain itu, saya kira tidak tahan godaan-godaan kekuasaan,” ujarnya. “PKB, PPP, dan Nasdem juga belum pernah berada di luar pemerintah jadi selain dua itu saya kira potensinya sangat besar walaupun yang dua itu juga PKS, PDIP juga masih kemungkinan gabung karena pergaulan yang panjang juga dengan presiden terpilih Pak Prabowo,” tambahnya.

Namun Usep berharap meskipun nantinya terjadi koalisi pemerintahan yang gemuk dan semi permanen, harus tetap ada pihak oposisi yang mengontrol jalannya pemerintahan agar terjadi check and balances.

“Jangan sampai akhirnya status quo jadi tidak ada check and balances, harus ada koalisi oposisi yang juga tetap mengontrol jalannya pemerintah, jalannya eksekutif,” imbuhnya.

Diakui Usep kestabilan pemerintahan Prabowo-Gibran perlu ditopang parlemen yang kuat dengan jumlah kursi koalisi yang lebih besar dari oposisi. Tetapi bagi pihak oposisi yang kalah jumlah kursi masih dapat berbuat banyak salah satunya dengan menjadi oposisi yang berkualitas untuk mengontrol setiap kebijakan pemerintah.

Usep mengatakan, jika Prabowo mau aman memerintah, maka harus merangkul minimal satu partai lagi yang punya kursi lebih banyak. Seperti misalnya partai Nasdem.

“Tapi lebih dari itu sebenarnya, kalau menurut saya oposisinya itu harus lebih bermutu bukan hanya sekedar jumlah tetapi juga kualitas oposisinya atau sebaliknya juga kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh eksekutif itu juga kemudian ukurannya lebih kepada mutu bukan hanya besar itu yang lebih substansi,” kata Usep.

Dia juga mengatakan, dalam kontes politik jumlah juga penting akhirnya memang harus dipadukan di antara kedua itu soal kuantitas dan kualitas.

“Saya kira memang substansinya juga harus lebih diperkuat lagi program-programnya mungkin gagasan-gagasan itu juga harus lebih substantif lagi,” pungkas Usep.