Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I: Para Pemimpin Teladan dari Angkatan Bersenjata Indonesia]
Saya belajar pelajaran hidup penting ketika Pak Ben Mboi mengatakan, ‘Prabowo jika kamu ingin menjadi pemimpin yang baik, saya hanya bisa memberimu dua hal. Pertama, cintai rakyatmu dan kedua, gunakan akal sehatmu. Tidak akan salah.’
Itulah yang selalu saya ingat. Sebagai pemimpin, kita harus mencintai rakyat, mencintai bawahannya. Kemudian kita harus menggunakan akal sehat. Kita tidak perlu terlalu jauh karena akal sehat biasanya berhasil.
Kata-katanya mengingatkan saya pada peribahasa Jawa, “Ojo Rumongso Iso, Nanging Iso Rumongso.” Tidak cukup bagi pemimpin hanya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas, tetapi mereka juga harus mampu merasakan perasaan, penderitaan, dan kebutuhan orang lain. Itu adalah gagasan filosofis yang sangat dalam bagiku. Bahkan sekarang, saya masih memegang kutipan Pak Ben Mboi, ‘cintai rakyatmu, gunakan akal sehatmu’.
Setelah bertahun-tahun, saya bertemu dengan Dokter Ben Mboi, seperti yang lebih dikenal setelah ia pensiun sebagai prajurit dan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Di TNI, ia dikenal sebagai dokter militer yang ikut dalam terjun payung berbaret merah (RPKAD) di Merauke saat kampanye pembebasan Irian Barat. Saat itu, komandan kompi adalah Kapten Benny Moerdani, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Panglima TNI (PANGAB) pada tahun 1980-an. Pak Ben Mboi adalah bagian dari kompi Pak Benny Moerdani yang terjun di Merauke.
Ketika saya bertemu dengan Pak Ben Mboi, dia banyak berbagi cerita dengan saya. Di antaranya, dia menceritakan kisah ketika ia naik pesawat Hercules sebelum terjun payung ke Irian Barat. Saat itu, Panglima Mandala adalah Mayor Jenderal Soeharto, dan beliau memimpin upacara pamit. Operasi Jaya Wijaya memiliki satu tujuan: mengakhiri pendudukan Belanda di Irian Barat. Pak Harto kemudian menjadi Jenderal TNI dan akhirnya Presiden Republik Indonesia.
Saat itu, Pak Ben Mboi masih Letnan Satu. Dia adalah dokter militer. Dia mengingat bahwa pasukan yang dipimpin oleh Pak Benny Moerdani melakukan apel di samping pesawat pengangkut Hercules C-130 yang mesinnya sudah dinyalakan. Dengan latar belakang suara keras mesin Hercules, Pak Harto memberikan pidato yang sangat singkat.
Menurut Pak Ben Mboi, dia mendengar Pak Harto berkata: ‘Kalian akan melaksanakan tugas membebaskan Irian Barat. Kami mengirimkan dua tim sebelum kalian beberapa hari lalu. Namun hingga saat ini kami kehilangan kontak dengan mereka. Saya harus memberitahu bahwa kesempatan kalian untuk kembali hidup hanya 50 persen. Sekarang saya akan memberikan kalian tiga menit untuk memikirkannya. Jika ada yang ragu, sekaranglah waktunya untuk mundur.’
Menurut Pak Ben Mboi, tidak ada yang keluar dari barisan. Pak Harto melirik jam tangannya, dan setelah tiga menit, beliau memerintahkan pasukan untuk naik pesawat. Pak Ben Mboi kemudian bercanda kepada saya bahwa, mungkin, jika Pak Harto memberi mereka lebih banyak waktu untuk memikirkannya, misalnya lima menit, banyak dari mereka akan mengubah pikirannya.
Meskipun terdengar lucu, itu memang tindakan kepahlawanan. Saya berpikir, mungkin Pak Ben Mboi benar, jika diberi lebih banyak waktu, mereka mungkin akan berpikir, ‘Oh tidak, ada 50 persen kemungkinan saya akan kembali ke keluarga dalam peti mati.’ Namun mereka tidak ragu; bahkan tidak ada keraguan sedikit pun melintasi pikiran mereka. Itulah semangat kepahlawanan yang mendasari psikologi bangsa saat itu.
Ada kisah menarik lain yang dibagikan setelah masa jabatan gubernurnya berakhir. Saat itu, bawahannya dan stafnya menyadari bahwa Pak Ben Mboi tidak memiliki rumah. Jadi mereka mulai menggalang dana dan menerima dukungan dari pemerintah setempat dan beberapa pengusaha lokal untuk membangun rumah Pak Ben Mboi. Sebenarnya, Indonesia memiliki banyak orang besar yang mendedikasikan seluruh karir mereka untuk negara dan pensiun tanpa rumah. Itu berarti bahwa mereka tidak melakukan korupsi atau mencari keuntungan pribadi dan belum dihadiahi dengan layak. Dan karena mereka sangat dihormati oleh bawahannya selama bertahun-tahun, orang-orang ini menemukan cara untuk mendapatkan cukup uang untuk membangun rumah setelah pensiunnya komandan mereka.
Saya juga belajar pelajaran hidup penting ketika Pak Ben Mboi mengatakan kepada saya, ‘Prabowo, jika kamu ingin menjadi pemimpin yang baik, saya hanya bisa memberimu dua hal. Pertama, cintai rakyatmu dan kedua, gunakan akal sehatmu. Dengan prinsip ini, kamu tidak akan salah.’
Itulah yang selalu saya ingat. Sebagai pemimpin, kita harus mencintai rakyat, mencintai bawahannya. Kemudian kita harus menggunakan akal sehat. Kita tidak perlu terlalu jauh karena akal sehat biasanya berhasil. Itu mengingatkan saya pada peribahasa Jawa, “Ojo Rumongso Iso, Nanging Iso O Rumongso.” Tidak cukup bagi pemimpin hanya menyelesaikan tugas, tetapi mereka juga harus merasakan perasaan, penderitaan, dan kebutuhan orang lain. Itu adalah filosofi yang sangat dalam bagiku. Bahkan sekarang, saya masih memegang pesan Pak Ben Mboi, ‘cintai rakyatmu, gunakan akal sehatmu’.