QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -64 Views

Para mentorku dari generasi ’45 adalah pemimpin lapangan, komandan kekuatan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang aku pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadianku: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah surut meskipun usianya sudah tua; Kedua, Kepercayaan Diri; Ketiga, Intelektual, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal diluar domain mereka; Keempat, Sense of Humor yang baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung emosional dengan bawahan dan prajurit yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, aku sangat beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pengasuhan, dan bimbingan dari banyak pelaku perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Bangkitnya bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu orang Indonesia dari berbagai etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang naik gerakan kemerdekaan atau memilih aman karena risikonya terlalu besar. Namun, banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan sehingga akhirnya kita bisa bebas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pembebas’. Mereka dapat dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang taruna di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, aku merasa sangat beruntung memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluargaku juga bagian dari generasi ini.

Kakekku, Margono Djojohadikusumo, dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakekku untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono langsung menemui beliau dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian pula, kedua anaknya, Mayor Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya tewas dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para taruna Akademi Militer Tangerang di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari basis Jepang. Namun, hampir semua taruna tewas dalam pertempuran, termasuk komandannya dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayahku, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar Doktor Ilmu Ekonomi, yang ia peroleh dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke dalam negeri guna mendukung pasukan Indonesia. Beliau juga sangat berperan dalam pencetakan uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, ia menjadi asisten pribadi Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Aku lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertamaku sebagai seorang anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakekku pada hari Minggu. Kakekku selalu mendirikan tenda militer kedua pamanku di halaman sebelum aku datang. Itu selalu menjadi hal yang selalu menyambutku. Kakekku juga menunjukkan kepadaku dua tempat tidur pamanku, ransel, dan helm yang dia simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka diletakkan di ujung tempat tidur mereka yang lain selalu berkilau. Dengan halus, kakek nenekku menunjukkan seberapa besar mereka menghargai dan menghormati pengorbanan besar yang dibuat oleh putra-putra mereka yang tewas untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka, yang patut dihormati, dan adil, dengan warganya yang sejahtera, bahagia yang setara dengan negara-negara lain. Atmosfer ini tanpa disadari, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepadaku. Keluargaku adalah keluarga dari generasi ’45. Aku dibesarkan dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Itu sering disebut-sebut sebagai lingkungan ‘republik’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik ke popularitas karena mereka tidak ingin diperlakukan lebih rendah daripada anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka sering mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat. Bahkan pada tahun 1978, saat menjabat sebagai Komandan Kompi di Group 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), aku menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frasa itu terukir di dinding marmer di sebelah kolam renang. Tapi saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa ingin tahunya mendorongku untuk memerintahkan anak buahku membersihkan lumut itu. Dan sungguh, dengan jelas terlihat, frasa Belanda tersebut: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diperkenankan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan, adalah bahwa kita, para pribumi, dianggap lebih rendah dari anjing. Pada saat itu, Belanda menganggap anjing lebih patut dihormati daripada kita, para pribumi negeri ini. Selain dibesarkan dalam keluarga pejuang kemerdekaan, aku juga beruntung bisa berinteraksi langsung dengan tokoh utama generasi ’45. Aku sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulunya adalah sekretarisnya. Suatu kali, ayahku, Pak Soemitro, bahkan membawaku ke Istana Presiden ketika aku sekitar 6 atau 7 tahun. Bung Karno melihatku dan sebentar menggendongku. Ketika aku masih kecil, rumah kita sering dikunjungi tamu. Kemudian, aku akan memahami bahwa mereka adalah tokoh penting yang memainkan peran kunci dalam perang kemerdekaan dan tahun-tahun pembentukan negara. Demikian pula, ketika aku bergabung dengan Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) di Magelang pada tahun 1970, beberapa instruktur dan komandan saya adalah dari generasi ’45. Mayor Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo, Gubernur AKABRI (1970-1974), adalah salah satu tokoh besar yang aku temui. Tugas terakhirnya adalah Pangdam XVII/Cenderawasih, dan ia pensiun dengan pangkat Letnan Jenderal. Aku juga mengenal Brigadir Jenderal Himawan Sutanto, Wakil Gubernur AKABRI, ketika aku masih taruna. Tugas terakhirnya adalah Kepala Staf Umum TNI dengan pangkat Letnan Jenderal. Aku juga mengenal Mayor Jenderal Wijogo Atmodarminto, Gubernur AKABRI (1970-1974). Tugas terakhirnya adalah Pangkowilhan II, dengan pangkat Letnan Jenderal. Seorang tokoh lain yang aku temui adalah Brigadir Jenderal TNI Sudarto, Komandan Divisi Taruna AKABRI. Selain itu, aku bertemu Mayor Jenderal TNI Purbo S. Suwondo, Wakil Gubernur AKABRI (1962-1966). Tugas terakhirnya adalah sebagai staf Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB), sebuah lembaga keamanan dalam negeri khusus dan kuat yang menjawab langsung kepada Presiden Soeharto, dengan pangkat Letnan Jenderal. Kemudian Mayor Jenderal Soesilo Soedarman kemudian menjadi Jenderal TNI (Purn.), yang terakhir kali menjalankan jabatan Pangkowilhan I dan IV. Aku juga mengenal Kolonel Infantri Susanto Wismoyo, yang pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal dan tugas terakhir Pangdam XIII/Merdeka. Kemudian, melalui pelayananku sebagai perwira muda, aku juga berinteraksi dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani. Ia kemudian menjadi Jenderal TNI sebagai Panglima TNI. Brigadir Jenderal Ali Moertopo kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI dengan jabatan terakhir sebagai Wakil Kepala …

Source link