Prodi Hubungan Internasional UKI Berkolaborasi dengan Anggota DPR RI untuk Membahas Regulasi Intelijen di Indonesia

by -63 Views

Perbincangan Aturan Intelijen di Indonesia oleh Program Studi Hubungan Internasional UKI dengan DPR RI

Undang-Undang No. 17/2011 menyatakan bahwa intelijen negara bertanggung jawab untuk melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini guna mencegah, menangkal, dan mengatasi ancaman yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Hal ini diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Tubagus Hasanuddin, S.E., M.M., M.Si, dalam Diskusi Kelompok Fokus (FGD) “Aturan Tambahan dalam Spionase: Jejaring atau Kekuasaan, Sebuah Diskursus” yang diadakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI) bersama dengan Departemen HI UI, di Ruang Eksekutif FEB Gedung AB UKI (11/06).

“Jadi, peran intelijen negara adalah untuk melakukan deteksi dan peringatan dini terhadap ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional,” kata Tubagus Hasanuddin.

Menurut Tubagus, Undang-Undang Intelijen bertujuan untuk mengatur kegiatan intelijen, namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut harus didasari oleh moral agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Teknologi mata-mata telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan invasif. Alat-alat ini sering digunakan untuk memonitor komunikasi digital, seperti pesan teks, panggilan telepon, dan aktivitas online lainnya. Meskipun teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan keamanan yang sah, laporan dari Amnesty International menyoroti bagaimana teknologi ini sering disalahgunakan.

Lebih lanjut, Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa dalam UU Intelijen negara, hal yang menjadi perhatian adalah penyadapan. “Penyadapan memiliki tujuan yang baik asalkan hak asasi manusia tetap dilindungi,” ujarnya.

Guru Besar ilmu keamanan internasional Fisipol UKI, Prof. Angel Damayanti, Ph.D. menyoroti adanya aturan tentang penyadapan yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Yang terpenting adalah aturan penyadapan dalam spionase harus menempatkan keamanan dan hak asasi manusia di garis depan. Aparat penegak hukum harus melakukan penyadapan untuk menjaga keamanan negara dari ancaman, namun perlu ada kebijakan pemerintah agar aturan spionase atau intelijen tidak merampas kebebasan individu,” kata Prof. Angel Damayanti.

Prof. Angel menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang spionase, norma, dan etika dalam mengumpulkan informasi, serta pentingnya mendefinisikan ancaman secara jelas untuk membuat regulasi yang efektif.

“Dalam menyusun RUU, penting untuk menyamakan persepsi mengenai apa yang dianggap sebagai ancaman. Misalnya, dalam kasus terorisme, terdapat perbedaan pendapat tentang apakah perempuan, remaja, dan anak dianggap sebagai korban, pelaku, atau ancaman. RUU harus jelas dalam mengatur apakah bukti digital yang diperoleh melalui spionase dapat digunakan dalam pengadilan kasus terorisme, yang akan membantu hakim dalam memberikan hukuman yang lebih adil,” jelas Prof. Angel.

Narasumber lainnya, Kepala Program Studi Hubungan Internasional Fisipol UKI, Arthuur Jeverson Maya, M.A., menyatakan pandangannya mengenai kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi.

“Spionase merupakan bentuk perang terselubung yang melibatkan pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam,” ujar Arthuur.

Menurut Direktur Centre for Social Justice and Global Responsibility UKI ini, terdapat kontradiksi antara keterbukaan dan kerahasiaan dalam hubungan negara dan spionase. “Negara harus transparan untuk mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik, namun kerahasiaan diperlukan untuk melindungi keamanan nasional,” katanya.

“Pentingnya kemajuan teknologi dalam akses dan analisis informasi. Perbedaan kecepatan akses informasi menjadi tantangan besar, sehingga negara harus terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi dapat diperoleh dan digunakan dengan efektif. Selain itu, regulasi yang jelas dan tegas diperlukan untuk mengatur kegiatan spionase agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum di masa depan,” jelas Arthuur.

FGD ini juga dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Bakrie, Prof. Hoga Saragih, Ph.D; Direktur Riset Indo Pacific Strategic Intelligence, Aisha Rasyidilla Kusumasomantri, M.Sc, dan Direktur Cesfas UKI, Darynaufal Mulyaman sebagai moderator.

“Diskusi terkait spionase dan intelijen harus tetap berlanjut meskipun isunya sensitif. Dinamika sosial merupakan konstruksi sosial yang dapat direkonstruksi ulang, karena setiap hal memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang penting adalah tidak melanggar etika dan moral dalam menekan kebebasan berpendapat publik,” tutup moderator. (Z-7)

Source link