Solusi Paradoks Indonesia: Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (Mewujudkan Ekonomi Konstitusi)

by -106 Views

Mewujudkan Ekonomi Konstitusi

Jika Anda pernah mempelajari ilmu ekonomi, Anda pasti tahu bahwa ada banyak aliran ekonomi di dunia. Ada aliran ekonomi yang disebut neoklasikal, pasar bebas, dan neoliberal. Ketiga aliran ini sering dikaitkan dengan aliran ekonomi Adam Smith. Kemudian ada aliran ekonomi sosialis, atau aliran ekonomi Karl Marx. Dalam perjalanan sejarah, ada yang mengatakan, “Indonesia harus memilih A”. Ada juga yang bilang, “sebaiknya kita pakai B”. Pertentangan ini masih ada hingga saat ini. Namun, menurut saya, mengapa kita harus memilih? Kita bisa mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan terbaik dari kedua aliran tersebut inilah yang disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan oleh ayah saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang bentuknya tertulis di Undang-undang Dasar 1945, khususnya di pasal 33. Kita juga bisa menyebutnya sebagai ‘ekonomi konstitusi’.

Setelah tahun 1998, Kita Keliru

Saya ingin mengingatkan bahwa setelah tahun 1998, sebagai bangsa, kita seakan-akan melupakan jati diri kita. Kita meninggalkan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, kita meninggalkan ekonomi Pancasila. Inilah sebabnya saya telah berjuang selama belasan tahun ini. Saya ingin mengingatkan kembali ajaran-ajaran Bung Karno: berdiri di atas kaki kita sendiri. Hal ini menurut saya sangat fundamental, namun banyak yang lupa. Kita terlalu percaya pada globalisasi, pada anggapan bahwa sudah tidak ada lagi batas-batas, bahwa dunia menjadi tanpa batas. Namun, jika Anda mencoba ke Amerika, Anda tidak bisa masuk tanpa visa. Bahkan, kadang-kadang warga Indonesia tidak mendapatkan visa. Hal ini menunjukkan bahwa batas tetap ada. Oleh karena itu, kita harus memiliki kekuatan sendiri. Nasionalisme bukanlah hal yang jelek. Nasionalisme adalah cinta pada bangsa sendiri. Jika bukan kita yang mencintai bangsa kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Mengapa kita harus meminta belas kasihan dari bangsa lain? Nasionalisme bukanlah sesuatu yang hina. Setiap bangsa membela kepentingan nasional mereka. Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh membela kepentingan kami sendiri? Mengapa petani kita tidak boleh dibantu oleh negara? Contohnya, di bidang pertanian, petani Amerika dibantu oleh negaranya. Petani Australia dibantu. Petani Vietnam dibantu. Petani Thailand dibantu. Jika kita mengatakan bahwa kepentingan nasional kita harus dijaga, mengapa kita dianggap sebagai anti asing? Saya katakan, kita tidak boleh anti asing. Dunia semakin sempit, dan tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka. Kita bersahabat, namun kita harus kuat dan mandiri.

Kemandirian dan kemampuan suatu negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri sekarang dapat diukur melalui indeks kompleksitas ekonomi. Professor Ricardo Hausmann dari Harvard University menemukan korelasi yang sangat kuat antara kesejahteraan suatu negara dengan kemandirian dan kemampuan negara tersebut dalam memproduksi barang secara lokal. Oleh karena itu, resep IMF pada tahun 1998 yang menghancurkan banyak industri kita sangat keliru dan harus ditinggalkan. Kita harus segera mulai memproduksi barang-barang di dalam negeri. Kita harus memiliki industri kapal, industri otomotif, industri pangan, industri sandang, industri senjata, serta industri pengolahan barang-barang intermediate. Dengan cara ini, kompleksitas ekonomi kita akan meningkat dan nilai tukar Rupiah pun bisa menguat.

Tujuan Kita: Ekonomi Konstitusi, Bukan Sosialisme

Sosialisme murni, meskipun baik dalam teorinya, sebenarnya sulit untuk dijalankan. Dalam sosialisme murni, prinsip kesetaraan yang mutlak tidak mungkin dapat direalisasikan. Jika diterapkan, orang tidak akan mau bekerja keras. Dalam sosialisme murni, orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja keras akan mendapatkan gaji yang sama. Orang pintar dan yang tidak pintar akan mendapatkan gaji yang sama. Orang yang mau belajar dan yang tidak mau belajar akan mendapatkan gaji yang sama. Bahkan dalam sosialisme utopia, uang tidak boleh ada. Bagaimana mungkin hal itu bisa dilaksanakan? Ini hanyalah sebuah impian. Terbukti bahwa negara-negara yang mencoba menerapkan sistem sosialis murni selalu gagal. Oleh karena itu, para pendiri bangsa kita, seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, benar. Yang tepat adalah ekonomi campuran. Ayah saya selalu mengatakan istilah ‘ekonomi campuran’. Yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme adalah yang harus kita pilih. Jika kita melihat sejarah Indonesia, dulu ada keputusan untuk menggunakan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi kita harus didasarkan pada kekeluargaan. Intinya, yang kuat harus membantu yang lemah. Keseimbangan harus tercapai. Tidak benar jika ekonomi didasarkan pada prinsip ‘yang kuat harus selalu menang, yang lemah boleh tersingkir’. Hal ini adalah paham kapitalisme murni. Hasilnya hanya 1% dari penduduk yang akan sejahtera, sedangkan sisanya akan menderita. Hal ini juga terjadi di Indonesia, seperti di Barat. Di Barat pun, banyak yang mulai mempertanyakan hal ini.

Paham Ekonomi Konstitusi: Bebas Boleh, Tetapi Harus Waspada

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, ekonomi kita harus menjadi ekonomi tengah, ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Jangan menjadi kapitalis penuh dan jangan juga menjadi sosialis penuh. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme, yang mendorong inovasi, kewirausahaan, dan investasi. Namun, kapitalisme harus diimbangi dengan perlindungan bagi rakyat banyak. Dalam ekonomi bebas, tidak ada perlindungan bagi rakyat, dan tidak ada harapan bagi orang miskin. Di sisi lain, sosialisme menjamin adanya jaring pengaman bagi orang miskin. Pemerintah harus berperan aktif dalam membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Jika tidak ada dukungan, mereka akan terus menjadi tidak berdaya. Namun, tidak cukup hanya memberikan uang kepada mereka tanpa pendidikan, pelatihan, manajemen, dan pendampingan. Strategi yang tepat harus diterapkan.

Paham Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Jadi Pelopor

Jika kita menggunakan paham ekonomi konstitusi, maka pemerintah harus memiliki peran yang proaktif dalam membangun ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan. Pemerintah harus menjadi pelopor dalam hal ini, bukan hanya menjadi pengawas. Inilah perbedaan antara paham neoliberal dan paham ekonomi konstitusi. Paham neoliberal mungkin cocok untuk negara-negara Barat yang sudah lebih maju, namun kita harus sadar bahwa kita masih jauh tertinggal. Oleh karena itu, pemerintah perlu turun tangan dalam membangun ekonomi.

Paham Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Jadi Pelopor

Jika pemerintah memegang paham ekonomi konstitusi, berarti pembangunan, pertanian, pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan harus menjadi perhatian utama pemerintah. Dalam mewujudkan hal ini, pemerintah harus menjadi pelopor. Inilah yang harus dilakukan dalam membangun ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi pengawas. Di paham neoliberal, pemerintah hanya di belakang layar, namun dalam paham ekonomi konstitusi, pemerintah harus menjadi pelopor.

Kesimpulannya, kita harus berusaha menjalankan ekonomi berdasarkan paham ekonomi konstitusi. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Paham ekonomi konstitusi mengajarkan bahwa ekonomi harus berbasis kekeluargaan dan negara harus turut serta dalam mengelola sektor-sektor vital. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ekonomi konstitusi, kita bisa membangun kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Source link