Mayor Elias Daan Mogot – prabowo2024.net

by -214 Views

Pada bagian ini, saya ingin berbagi cerita tentang kedua paman saya, sebelum saya menceritakan tentang teman seperjuangan mereka. Ketika saya kecil, kakek saya, Margono Djojohadikusumo, sering bercerita tentang kedua putraanya, yaitu kedua paman saya, Subianto dan Sujono.

Setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono bergabung dengan tentara. Salah satunya langsung menjadi perwira. Subianto lulus dari Fakultas Kedokteran, mungkin karena lulus dari fakultas kedokteran, ia langsung menjadi perwira. Sementara itu, yang lain masuk ke Akademi Militer Tangerang.

Di rumah kakek saya, Pak Margono, di Jalan Taman Matraman No. 10, yang sekarang bernama Jalan Taman Amir Hamzah, di Jakarta, terdapat ruangan yang disediakan khusus bagi Subianto dan Sujono. Kamar kedua paman saya itu, di Taman Matraman saat itu, tetap dipertahankan. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka disimpan dengan baik. Setiap kali saya berkunjung ke sana pada hari Minggu, kakek sudah menyiapkan tenda milik Subianto untuk dipasangkan lagi. Saya pun diminta bermain di tenda-tendaan. Saya juga dibawa ke kamar mereka dan diperlihatkan ransel, sepatu, helm, dan tempat tidur mereka.

Kedua paman saya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Tangerang Selatan pada tahun 1946. Mereka gugur bersama dengan rekan seperjuangan mereka, Daan Mogot, seorang Mayor yang mendirikan Akademi Militer Tangerang pada usia 17 tahun.

Elias Daniel Mogot, yang dikenal sebagai Daan Mogot, adalah seorang perwira Tentara Republik Indonesia (TRI) yang sangat cemerlang karirnya. Ia menjadi Mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) pada usia 14 tahun.

Daan Mogot lahir di Manado pada tahun 1928. Pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942, ia bergabung dengan pasukan PETA. Saat itu, ia sebenarnya belum memenuhi syarat dari pemerintah militer Jepang yang mengharuskan usia minimal 18 tahun.

Namun, ia terkenal pandai dan berprestasi selama pendidikan militer sehingga ia dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA di Bali pada tahun 1943. Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali.

Pada tahun 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf di Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Dengan pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekannya menggagas pendirian akademi militer. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada November 1945, didirilah Militaire Academie Tangerang (MAT).

Karena ketekunan dan keberhasilannya memimpin pasukan, ia menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Ia diberi tugas untuk mendidik calon-calon perwira Indonesia agar siap untuk bertempur merebut kemerdekaan.

Pada akhir Januari 1946, pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dengan tujuan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Tanggal 25 Januari 1946, pasukan di bawah komando Daan Mogot, dengan kekuatan 70 kadet MA Tangerang dan 8 tentara gurkha, berangkat dalam misi operasi ini untuk mencegah senjata tentara Jepang yang telah menyerah agar tidak jatuh ke tangan tentara Belanda.

Saat pasukan tiba di markas Jepang sekitar pukul 16.00 WIB, kehadiran empat serdadu gurkha berhasil meyakinkan pihak Jepang bahwa rombongan tersebut adalah gabungan TKR dan Sekutu. Sementara itu di luar, para taruna di bawah pimpinan Lettu Subianto dan Lettu Soetopo, tanpa menunggu hasil perundingan, langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Jepang tersebut berhasil dikumpulkan. Namun tiba-tiba terdengar suara letusan senjata, yang memicu kepanikan tentara Jepang yang menyebabkan mereka menembaki para taruna MAT. Pertempuran pun pecah dan berakhir ketika hari mulai gelap. Mayor Daan Mogot, Letnan Satu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono Djojohadikusumo, dan dua perwira dari Polisi Tentara serta 33 prajurit tewas dalam pertempuran. Dua paman saya, Subianto, berusia 21 tahun, dan Sujono, berusia 16 tahun, termasuk di antara yang gugur. Peristiwa ini sekarang terkenal dengan sebutan Pertempuran Lengkong.

Sumber: https://prabowosubianto.com/mayor-elias-daan-mogot/

Source link