Oleh Prabowo Subianto [dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto]
“Ketika saya baru saja pensiun dari TNI, saya merasa tersentuh saat membaca surat Montgomery kepada raja Inggris. Dia menulis, “Paduka yang mulia, setelah bertahun-tahun saya bertugas untuk kerajaan di luar negeri, kini tiba saatnya saya harus kembali ke Inggris. Saya harus melaporkan bahwa saya agak bingung karena pulang ke rumah saya yang tidak punya rumah. Semua harta pribadi saya yang saya titipkan di rumah keluarga sudah dihancurkan oleh bom Jerman. Saya memohon perhatian daripada Raja.”
Kita bisa membayangkan seorang panglima terkenal, yang memimpin jutaan tentara, memimpin pertempuran-pertempuran yang terkenal, El Alamien, Normandy, dan sebagainya, begitu bingung setelah pulang perang karena tidak punya rumah. Ini terjadi di sebuah negara Barat yang bisa dikatakan sebagai super power pada saat itu. Saya berpikir, apalah saya dibandingkan dengan Montgomery.”
Saya telah membaca biografi Field Marshall Bernard Law Montgomery beberapa kali dalam versi yang berbeda. Saya juga telah membaca otobiografi beliau. Montgomery adalah pribadi yang menarik. Ia meniti karier militer dari Akademi Militer Inggris yaitu Sandhurst. Kemudian, saat Perang Dunia pertama terjadi, ia ikut serta dalam perang dan sempat terluka parah.
Sesudah Perang Dunia pertama, ia melanjutkan kariernya, langkah demi langkah, dan pada Perang Dunia kedua, ia menjadi panglima divisi melawan Jerman di Prancis. Dia juga lolos dalam evakuasi di Dunkerque (Dunkirk) dan merupakan perwira kunci di tentara Inggris pasca peristiwa Dunkerque.
Ia dikenal sebagai perwira yang sangat profesional, yang fokus utamanya adalah pengabdian sebagai perwira lapangan. Sampai dengan menjadi jenderal, ia sangat bugar. Ia selalu berlari cross country dan dikenal sebagai perwira yang tidak pernah merokok dan tidak pernah minum alkohol.
Ia sangat gemar belajar sejarah dan akhirnya, saat ia ditunjuk oleh Perdana Menteri Churchill menjadi panglima tentara ke-8 Inggris di Mesir melawan Rommel. Ia berhasil mengalahkan tentara Jerman dan Italia dalam pertempuran yang terkenal El Alamein di Mesir, sekitar 100 KM dari Alexandria.
Dari pertempuran El Alamien, ia mengejar Rommel sampai ke Tunisia. Ia memimpin pendaratan di Sisilia dan kemudian ia menjadi panglima pendaratan di Normandia, yaitu Operasi Overlord. Kemudian ia terus memimpin tentara sekutu sampai berakhirnya Perang Dunia Kedua dan ia sempat menjadi pimpinan tentara Inggris sampai dengan pensiun.
Tentu saja, selain karier sebagai panglima yang cemerlang, ada hal-hal lain yang menarik atau yang membuat saya kagum tentang dirinya.
Suatu saat setelah saya pensiun dari tentara, saya berjalan di Kota Bangkok dan melihat ada toko buku dimana di luar toko buku tersebut ada suatu kotak buku-buku bekas. Saya melihat buku bekas dan menemukan biografi Jenderal Montgomery ini.
Biografi tersebut tidak terlalu tebal, tetapi banyak foto-fotonya. Setelah saya membaca, ada satu hal yang sangat menarik bagi saya yaitu ternyata sesudah Montgomery meninggal, di arsipnya ditemukan surat yang ditulis kepada Raja Inggris George ke-6 setelah Perang Dunia Kedua berakhir.
Dalam surat tersebut, ia menulis kepada raja, “Paduka yang mulia, setelah bertahun-tahun saya bertugas untuk kerajaan di luar negeri kini saatnya saya harus kembali ke Inggris. Saya bicara kepada paduka yang mulia raja sebagai panglima tertinggi saya. Dan saya harus melaporkan bahwa saya agak bingung karena pulang saya tidak punya rumah. Semua harta pribadi saya yang saya titipkan di rumah saudara sudah dihancurkan oleh bom Jerman. Anak saya satu-satunya sekarang berada di boarding school dan setiap libur saya tinggalkan kepada saudara-saudara dan teman-teman yang ada. Saya mohon perhatian daripada Raja.”
Kita bisa membayangkan seorang panglima terkenal, yang pernah memimpin jutaan tentara, memimpin pertempuran-pertempuran yang terkenal, El Alamien, Normandia dan sebagainya. Begitu selesai pulang perang, ia bingung karena tidak punya rumah, dan ia berani menulis surat kepada rajanya sebagai panglima tertinggi. Ini terjadi di sebuah negara Barat yang bisa dikatakan super power pada saat itu. Bahwa ada jenderal panglima yang tidak punya rumah.
Pada saat itu, saya tersentak, karena itulah nasib yang saya alami. Saat saya pensiun, saya juga tidak punya rumah. Saya punya sebuah rumah dinas, di Cijantung 2, yang memang milik tentara dan saya yakin suatu saat harus saya kembalikan.
Tetapi ketika saya membaca cerita Montgomery yang sama-sama pulang tidak punya rumah, akhirnya saya ambil kesimpulan bayangkan panglima yang memimpin jutaan prajurit oleh negara super power seperti Inggris pada saat itu juga bisa terjadi tidak punya rumah. Apalagi saya? Apalah saya dibandingkan dengan Montgomery.
Jadi saat itu, saya merasa sedih karena saya tidak punya rumah pribadi, namun akhirnya saya bisa merasa terhibur dengan itu dan pada akhirnya, saya memiliki rumah pribadi, walaupun melalui perjuangan yang tidak mudah.